Senin, 15 Desember 2014

Manajemen Keperawatan: Penilaian Kinerja

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Penilaian kinerja merupakan proses kontrol dimana kinerja pegawai dievaluasi berdasarkan standar-standar tertentu. Literatur dalam penilaian kinerja ini banyak, hal ini menunjukkan betapa pentingnya ini dalam manajemen. Penelitian yang berperan telah dilaksanakan terhadap berbagai aspek dalam proses penilaian kinerja ini.
Baik pegawai maupun manajer sepertinya tidak menyukai penilaian kinerja ini. Beberapa pegawai menganggap penilaian kinerja sebagai sesuatu hal yang dianggap lebih bernilai untuk kepentingan manajer puncak daripada mereka atau penyelianya. Beberapa manajer tidak menyukai untuk melakukan penilaian kinerja ini karena membuat mereka merasa bersalah: “Apakah Saya benar-benar adil terhadap para pekerja?”. Manajer lain merasa takut untuk menghadapi reaksi para pekerja terhadap penilaian.
Penilaian kinerja memerlukan perencanaan cermat, pengumpulan informasi, dan wawancara formal yang luas, proses yang memerlukan banyak waktu. Manajer biasanya melakukan aktivitas dalam waktu yang singkat, mengikuti pertemuan, melakukan perilaku tidak rutin, dan berfokus pada informasi baru, semua jangka aktivitas jangka pendek dalam perbandingan dengan penilaian kinerja terus menerus. Selanjutnya, proses ini biasanya tidak interaktif, bergerak lambat, pasif, terisolasi, dan tidak berorientasi pada masyarakat.
Pengukuran terhadap kinerja seseorang bersifat tidak akurat. Seringkali titik perhatian tertuju pada formatnya, bukan pada orangnya. Dalam beberapa organisasi, departemen sumber daya manusia mengirimkan format penilaian pada departemen segera sebelum tahun anggaran berakhir. Formulir-formulir ini harus dilengkapi dengan segera dan dilakukan dengan sedikit atau tanpa pelatihan dan pemisahan baik rater (pemberi latihan) atau ratee (orang yang diberi latihan). Hasilnya tidak dapat dipercaya oleh pekerja dan ditakuti oleh manajer.
Sebuah survei terhadap 1300 perusahaan Fortune (1000 perusahaan industry dan 300 non-industri) menunjukkan bahwa 29% dari para pegawai harian tidak terevaluasi oleh system penilaian formal. Tiga puluh Sembilan persen dari responden menunjukkan bahwa, bilamana digunakan, sistem penilaian kinerja “amat sangat efektif” atau “sangat efektif”.
Sistem penilaian kinerja ini memerlukan tanggung jawab manajemen puncak. Sistem ini dapat disatukan dalam suatu siklus perencanaan dengan menghubungkannya pada anggaran personel atau mencakupkannya sebagai rencana manajemen.
(Swansburg, 2000).



B.       Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah tentang Penilaian Kinerja.

C.      Tujuan
1.         Tujuan umum
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui Penilaian Kinerja.
2.         Tujuan khusus
a.    Mengetahui pengertian penilaian kinerja.
b.    Mengetahui tujuan penilaian kinerja.
c.    Mengetahui prinsip-prinsip penilaian
d.   Mengetahui alat ukur dalam penilaian kinerja.
e.    Mengetahui metode penilaian kinerja.
f.     Mengetahui permasalahan penilaian kinerja.
g.    Mengetahui integrasi peran kepemimpinan dan fungsi manajemen dalam penilaian kinerja






BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian
Kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu (As’ad, 2003). Penilaian kinerja merupakan proses kontrol dimana kinerja pegawai dievaluasi berdasarkan standar-standar tertentu (Swansburg, 2000). Penilaian kinerja merupakan alat yang paling dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia dan produktivitas (Nursalam, 2007).

B.       Tujuan
Penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif untuk mengarahkan perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan barang dan jasa dalam volume dan kualitas tinggi. Perawat manajer juga dapat menggunakan proses penilaian kinerja untuk mengatur arah kinerja dalam memilih, melatih, bimbingan perencanaan karier, serta pemberian penghargaan personel. Survey dari Fortune 1300 menunjukkan bahwa 80% menggunakan sistem Penilaian kinerja untuk menilai peningkatan penghasilan, memberikan umpan balik, dan mengidentifikasikan calon yang akan dipromosikan, kesemuanya ini merupakan tujuan jangka pendek. Penilaian kinerja yang telah diterapkan ini juga terlibat dalam tujuan jangka panjang dari perencanaan suksesi dan perencanaan karier, disamping itu juga banyak berperan dalam perencanaan strategis.
Selain digunakan dalam rangka kegiatan promosi, terminasi, penyeleksian, dan kompensasi, pengawasan kinerja juga ditemui dalam tujuannya untuk mewujudkan pekerja yang efektif. Penilaian kinerja merupakan alat manajemen yang mampu memfasilitasi tingkatan-tingkatan kinerja dalam rangka mencapai objektif dan misi dari perusahaan.
Penilaian kinerja harus memenuhi tuntutan-tuntutan legalitas yang mencakup berbagai hal yang terkait dengan formulir-formulir standardisasi, analisa kerja yang jelas dan berhubungan dengan tingkatan pelatihan. Bila hal ini tidak terpenuhi, tindakan disiplin termasuk pemecatan tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1.         Performance improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2.         Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3.         Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4.         Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.
5.         Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6.         Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7.         Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8.         Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9.         External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi peningkatan kinerja pegawai.
10.     Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri.

C.      Prinsip-Prinsip Penilaian
Menurut Gilles (1996), untuk mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil, maka menejer sebaiknya mengunakan prinsip-prinsip tertentu, yaitu:
1.         Evaluasi pekerjaan seharusnya didasarkan pada standar pelaksanan kerja orientasi tingkah laku untuk posisi yang ditempati (Rommber, 1986 dikutip gilles 1996). Karena diskripsi kerja dan standar  dan pelaksanan kerja dilaksanakan ke pegawai selama orientasi sebagai tujuan yang harus dilaksanakan, pelaksanaan kerja seharusnya dievaluasi berkenaan dengan sasaran yang sama.
2.         Sampai tingkah laku perawat yang persentatif sebaiknya diamati dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerjanya. Penelitian harus diberikan untuk mengevaluasi tingkah laku umum atau tingkah laku konsistennya serta guna menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan.
3.         Perawat sebaiknya diberi salinan kerjanya, standar pelaksanan kerja, dan bentuk evaluasi untuk peninjauan ulang sebelum pertemuan evaluasi sehingga sebaiknya perawat maupun supervisior dapat mendiskusikan evaluasi dari kerangka yang sama.
4.         Didalam melaksanakan penulisan pelaksanan penilaian kerja pegawai, menejer sebaiknya menunjukkan segi-segi dimana pelaksananya kerja itu bisa memuaskan dan perbaikan apa yang diperlukan. Supervisior sebaiknya merujuk pada contoh kasus-kasus yang mengenai tingkah laku yang memuaskan maupun yang tidak memuaskan supaya dapat menjelaskan dasar-dasar komentar yang bersifat evaluatif.
5.         Jika diperlukan menejer menjelaskan area mana yang diprioritaskan seiring dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanan kerja.
6.         Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat dan menejer, diskusi evaluasi sebaiknya dilakukan dalam waktu yang cocok untuk keduanya.
Baik laporan evaluasi maupan pertemuan sebaiknya disusun dengan terencana sehingga perawat tidak merasa bahwa pelaksanan kerjanya sedang dianalisa (Simson,1985). Seorang pegawai dapat bertahan dari kecaman menejer yang menunjukkan pertimbangan atas perasaan serta menawarkan bantuan untuk meningkatkan pelayanan kerja.
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam buku pengembangan sumber daya manusia, prinsip penilaian kerja antara lain:
1.         Penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (job realated), artinya sistem penilaian harus benar-benar menilai prilaku atau kinerja.
2.         Adanya standar pelaksanaan kerja (performance standart): Standar pelaksanaan adalah ukuran yang dipakai untuk menilai  prestasi  kerja.
3.         Praktis. Sistim penilaian yang praktis mudah dipahami dan mudah dimengerti dan  mudah digunakan baik oleh penilai maupun karyawan.

D.      Alat Ukur dalam Penilaian Kinerja
Menurut  (Nursalam, 2002) berbagai macam alat ukur telah dalam penelitian pelaksanan kerja karyawan keperawatan. Agar efektif, alat evaluasi sebaiknya dirancang untuk mengurangi bias, meningkatkan objektifitas serta menjamin keabsahan dan ketahanan. Setiap supervisor menunjukkan beberapa tingkatan bias dalam evaluasi kerja bawahan. Beberapa supervisior biasanya meremehkan pelaksanan kerja perawat asing. Beberapa diantaranya menaksir terlalu tinggi pengetauan dan ketrampilan dari perawat yang menarik, termasuk juga dalam kerapian dan kesopanan.
Objektivitas, yaitu kemampuan untuk mengalihkan diri sendiri secara emosional dari suatu keadaan untuk mempertimbangkan fakta tanpa adanya penyimpangan oleh perasaan pribadi.
Keabsahan diartikan sebagai tingkatan alat mengukur pokok isi serta yang diukur. Alat ukur yang digunakan dalam menilai pelaksanan kerja dan tugas-tugas yang ada didalam diskripsi kerja pada perawat perlu dirinci satu demi satu dan dilaksanakan secara akurat.
Jenis alat evaluasi pelaksanan kerja perawat yang umumnya digunakan ada lima yaitu: laporan bebas, pengukuran yang sederhana, cheklis pelaksanaan kerja, penilaian grafik, dan perbandingan pilihan yang dibuat-buat (Hendarson, 1984, dalam Nursalam, 2002).
1.       Laporan tanggapan bebas
Pemimpin atau atasan diminta memberi komentar tentang kuwalitas pelaksanan kerja bawahan dalam jangka waktu tertentu. Karena tidak adanya petunjuk yang harus dievaluasi, sehinga penilain cenderung menjadi tidak syah. Alat ini kurang obyektif karena mengabaikan sesuatu yang penting, dimana penilaian hanya berfokus pada salah satu aspek.


2.         Cheklis pelaksanaan kerja
Cheklist terdiri dari daftar kriteria pelasanaan kerja untuk tugas yang paling penting dalam diskripsi kerja karyawan, dengan lampiran formulir dimana peneliti dapat menyatakan apakah bawahan dapat bertingah laku seperti yang diiginkan atau tidak.

E.       Metode Penilaian Kinerja
Banyak metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu) dan future oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi ke masa depan) (Werther dan Davis, 1996).
Past based methods adalah penilaian kinerja atas kinerja seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Kelebihannya adalah jelas dan mudah diukur, terutama secara kuantitatif. Kekurangannya adalah kinerja yang diukur tidak dapat diubah sehingga kadang-kadang justru salah menunjukkan seberapa besar potensi yang dimiliki oleh seseorang. Selain itu, metode ini kadang-kadang sangat subjektif dan banyak biasnya. 
Future based methods adalah penilaian kinerja dengan menilai seberapa besar potensi pegawai dan mampu untuk menetapkan kinerja yang diharapkan pada masa datang. Metode ini juga kadang-kadang masih menggunakan past method. Catatan kinerja juga masih digunakan sebagai acuan untuk menetapkan kinerja yang diharapkan. Kekurangan dari metode ini adalah keakuratannya, karena tidak ada yang bisa memastikan 100% bagaimana kinerja seseorang pada masa datang.
Pengklasifikasian pendekatan penilaian kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan klasifikasi yang dilakukan oleh Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan aspek yang diukur, Kreitner dan Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yaitu: pendekatan trait, pendekatan perilaku dan pendekatan hasil.
Pendekatan trait adalah pendekatan penilaian kinerja yang lebih fokus pada orang. Pendekatan ini melakukan perankingan terhadap trait atau karakteristik individu seperti inisiatif, loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan. Pendekatan trait memiliki kelemahan karena ketidakjelasan kinerja secara nyata. Pendekatan perilaku, pendekatan ini lebih fokus pada proses dengan melakukan penilaian kinerja berdasarkan perilaku yang tampak dan mendukung kinerja seseorang. Sedangkan pendekatan hasil adalah pendekatan yang lebih fokus pada capaian atau produk. Metode penilaian kinerja yang menggunakan pendekatan hasil seperti metode management by objective (MBO) (Kreitner dan Kinicki, 2000).
Metode-metode penilaian kinerja yang sesuai dengan pengkategorian dua tokoh di atas yang paling banyak digunakan menurut Mondy dan Noe (1993) adalah:
1.         Written essays, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi mengenai kekuatan pekerja, kelemahannya, kinerjanya pada masa lalu, potensinya dan memberikan saran-saran untuk pengembangan pekerja tersebut.
2.         Critical incidents, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator mencatat mengenai apa saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely good or bad behaviour) pegawai.
3.         Graphic rating scales, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai kinerja pegawai dengan menggunakan skala dalam mengukur faktor-faktor kinerja (performance factor). Misalnya adalah dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang terbaik. Jika tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja, misalnya, maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai faktor-faktor kinerja lainnya. Metode ini merupakan metode umum yang paling banyak digunakan oleh organisasi.
4.         Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS), merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya adalah penilaian pelayanan pelanggan. Bila pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari pelanggan, ia diberi skala 4 yang berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu membantu pelanggan yang kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7 yang berarti kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan. Pada contoh di atas, nilai 4 dideskripsikan dengan tidak menerima suap dari pelanggan. Nilai 7 dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang membutuhkan bantuan. Dengan mendeskripsikannya, metode ini mengurangi bias yang terjadi dalam penilaian.
5.         Multiperson comparison, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu seorang pegawai dibandingkan dengan rekan kerjanya. Biasanya dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna untuk menentukan kenaikan gaji (merit system), promosi, dan penghargaan perusahaan.
6.         Management by objectives. Metode ini juga merupakan penilaian kinerja, yaitu pegawai dinilai berdasarkan pencapaiannya atas tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan-tujuan ini tidak ditentukan oleh manajer saja, melainkan ditentukan dan disepakati bersama oleh para pegawai dan manajer.
Setiap metode di atas memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, sehingga tidak baik bagi organisasi untuk menggantungkan penilaian kinerjanya hanya pada satu jenis metode saja. Sebaiknya, organisasi menggabungkan beberapa metode yang sesuai dengan lingkup organisasinya, Mondy dan Noe (1993).

F.       Permasalahan Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja, promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut Werther dan Davis (1996) adalah:
1.    Hallo effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan memperoleh nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula sebaliknya, seorang pegawai yang tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada semua aspek penilaian.
2.    Liniency and severity effect. Liniency effect ialah penilai cenderung beranggapan bahwa mereka harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka cenderung memberi nilai yang baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung akan memberikan nilai yang buruk.
3.    Central tendency, yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan nilai yang rata-rata.
4.    Assimilation and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang lainnya.
5.    First impression error, yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga jangka waktu yang lama.
6.    Recency effect, penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku yang baru saja mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu jangka waktu tertentu.

G.      Integrasi Peran Kepemimpinan dan Fungsi Manajemen dalam Penilaian Kinerja
Pengukuran kinerja sebagai bagian dari  pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen, menuntut manajer sebagai pihak yang paling bertanggung jawab  dalam pembinaan bawahannya. Manajer dengan pengukuran kinerja tersebut harus berusaha menjamin, selain pekerjaan yang diberikan sesuai dengan karasteristik personal, juga menjamin pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan pencapain tujuan organisasi secara keseluruhan.



DAFTAR PUSTAKA


Mangkunegara (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, PT. Remaja Rasdakarya, Bandung


Nursalam (2003), Proses dan Dokumentasi Keperawatan / Konsep dan Praktek, Salemba, Jakarta

                  Swarburg R C (2000). Pengaturan Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Untuk Perawat Klinis, Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Swarburg R C (2000). Pengembangan Staf  Keperawatan Serta Pengembangan   SDM, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Gilles D A (1996). Manajemen Keperawatan, Edisi 2, WB Sounder Company, Philedeplia.

Notoadmojo I (2000). Sumber daya Manusia,PT. Renika Cipta, Jakarta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar