BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Penilaian
kinerja merupakan proses kontrol dimana kinerja pegawai dievaluasi berdasarkan
standar-standar tertentu. Literatur dalam penilaian kinerja ini banyak, hal ini
menunjukkan betapa pentingnya ini dalam manajemen. Penelitian yang berperan
telah dilaksanakan terhadap berbagai aspek dalam proses penilaian kinerja ini.
Baik
pegawai maupun manajer sepertinya tidak menyukai penilaian kinerja ini.
Beberapa pegawai menganggap penilaian kinerja sebagai sesuatu hal yang dianggap
lebih bernilai untuk kepentingan manajer puncak daripada mereka atau penyelianya.
Beberapa manajer tidak menyukai untuk melakukan penilaian kinerja ini karena
membuat mereka merasa bersalah: “Apakah Saya benar-benar adil terhadap para
pekerja?”. Manajer lain merasa takut untuk menghadapi reaksi para pekerja
terhadap penilaian.
Penilaian
kinerja memerlukan perencanaan cermat, pengumpulan informasi, dan wawancara
formal yang luas, proses yang memerlukan banyak waktu. Manajer biasanya
melakukan aktivitas dalam waktu yang singkat, mengikuti pertemuan, melakukan
perilaku tidak rutin, dan berfokus pada informasi baru, semua jangka aktivitas
jangka pendek dalam perbandingan dengan penilaian kinerja terus menerus.
Selanjutnya, proses ini biasanya tidak interaktif, bergerak lambat, pasif,
terisolasi, dan tidak berorientasi pada masyarakat.
Pengukuran
terhadap kinerja seseorang bersifat tidak akurat. Seringkali titik perhatian
tertuju pada formatnya, bukan pada orangnya. Dalam beberapa organisasi,
departemen sumber daya manusia mengirimkan format penilaian pada departemen
segera sebelum tahun anggaran berakhir. Formulir-formulir ini harus dilengkapi
dengan segera dan dilakukan dengan sedikit atau tanpa pelatihan dan pemisahan
baik rater (pemberi latihan) atau ratee (orang yang diberi latihan). Hasilnya
tidak dapat dipercaya oleh pekerja dan ditakuti oleh manajer.
Sebuah
survei terhadap 1300 perusahaan Fortune (1000 perusahaan industry dan 300
non-industri) menunjukkan bahwa 29% dari para pegawai harian tidak terevaluasi
oleh system penilaian formal. Tiga puluh Sembilan persen dari responden
menunjukkan bahwa, bilamana digunakan, sistem penilaian kinerja “amat sangat
efektif” atau “sangat efektif”.
Sistem
penilaian kinerja ini memerlukan tanggung jawab manajemen puncak. Sistem ini
dapat disatukan dalam suatu siklus perencanaan dengan menghubungkannya pada
anggaran personel atau mencakupkannya sebagai rencana manajemen.
(Swansburg,
2000).
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah
tentang Penilaian Kinerja.
C.
Tujuan
1.
Tujuan umum
Makalah
ini bertujuan untuk mengetahui Penilaian Kinerja.
2.
Tujuan khusus
a. Mengetahui
pengertian penilaian kinerja.
b. Mengetahui
tujuan penilaian kinerja.
c. Mengetahui
prinsip-prinsip penilaian
d. Mengetahui
alat ukur dalam penilaian kinerja.
e. Mengetahui
metode penilaian kinerja.
f. Mengetahui
permasalahan penilaian kinerja.
g. Mengetahui
integrasi peran kepemimpinan dan fungsi manajemen dalam penilaian kinerja
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil
yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu (As’ad, 2003). Penilaian
kinerja merupakan proses kontrol dimana kinerja pegawai dievaluasi berdasarkan
standar-standar tertentu (Swansburg, 2000). Penilaian kinerja merupakan alat
yang paling dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya
manusia dan produktivitas (Nursalam, 2007).
B.
Tujuan
Penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif untuk mengarahkan
perilaku pegawai dalam rangka menghasilkan barang dan jasa dalam volume dan
kualitas tinggi. Perawat manajer juga dapat menggunakan proses penilaian
kinerja untuk mengatur arah kinerja dalam memilih, melatih, bimbingan
perencanaan karier, serta pemberian penghargaan personel. Survey dari Fortune
1300 menunjukkan bahwa 80% menggunakan sistem Penilaian kinerja untuk menilai
peningkatan penghasilan, memberikan umpan balik, dan mengidentifikasikan calon
yang akan dipromosikan, kesemuanya ini merupakan tujuan jangka pendek. Penilaian
kinerja yang telah diterapkan ini juga terlibat dalam tujuan jangka panjang
dari perencanaan suksesi dan perencanaan karier, disamping itu juga banyak
berperan dalam perencanaan strategis.
Selain digunakan dalam rangka kegiatan promosi, terminasi,
penyeleksian, dan kompensasi, pengawasan kinerja juga ditemui dalam tujuannya
untuk mewujudkan pekerja yang efektif. Penilaian kinerja merupakan alat
manajemen yang mampu memfasilitasi tingkatan-tingkatan kinerja dalam rangka
mencapai objektif dan misi dari perusahaan.
Penilaian kinerja harus memenuhi tuntutan-tuntutan legalitas yang
mencakup berbagai hal yang terkait dengan formulir-formulir standardisasi,
analisa kerja yang jelas dan berhubungan dengan tingkatan pelatihan. Bila hal
ini tidak terpenuhi, tindakan disiplin termasuk pemecatan tidak dapat
dibenarkan secara hukum.
Penilaian kinerja menurut
Werther dan Davis (1996) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi
dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1.
Performance improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk
mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2.
Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk menentukan
siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3.
Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4.
Training and
development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar
kinerja mereka lebih optimal.
5.
Carrer planning and
development. Memandu
untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai.
6.
Staffing process
deficiencies.
Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7.
Informational
inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam
manajemen sumber daya manusia terutama di bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya
manusia.
8.
Equal employment
opportunity.
Menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif.
9.
External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh
faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan
lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan
melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan
sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi
peningkatan kinerja pegawai.
10.
Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian
maupun bagi pegawai itu sendiri.
C.
Prinsip-Prinsip Penilaian
Menurut Gilles (1996), untuk
mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil, maka menejer sebaiknya mengunakan
prinsip-prinsip tertentu, yaitu:
1.
Evaluasi pekerjaan seharusnya didasarkan pada standar
pelaksanan kerja orientasi tingkah laku untuk posisi yang ditempati (Rommber,
1986 dikutip gilles 1996). Karena diskripsi kerja dan standar dan
pelaksanan kerja dilaksanakan ke pegawai selama orientasi sebagai tujuan yang
harus dilaksanakan, pelaksanaan kerja seharusnya
dievaluasi berkenaan dengan sasaran yang sama.
2.
Sampai tingkah laku perawat yang persentatif sebaiknya
diamati dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerjanya. Penelitian harus diberikan
untuk mengevaluasi tingkah laku umum atau tingkah laku konsistennya serta guna
menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan.
3.
Perawat sebaiknya diberi salinan kerjanya, standar
pelaksanan kerja, dan bentuk evaluasi untuk peninjauan ulang sebelum pertemuan
evaluasi sehingga sebaiknya perawat maupun supervisior dapat mendiskusikan
evaluasi dari kerangka yang sama.
4.
Didalam melaksanakan penulisan pelaksanan penilaian kerja
pegawai, menejer sebaiknya menunjukkan segi-segi dimana pelaksananya kerja itu
bisa memuaskan dan perbaikan apa yang diperlukan. Supervisior sebaiknya merujuk
pada contoh kasus-kasus yang mengenai tingkah laku yang memuaskan maupun yang
tidak memuaskan supaya dapat menjelaskan dasar-dasar komentar yang bersifat
evaluatif.
5.
Jika diperlukan menejer menjelaskan area mana yang
diprioritaskan seiring dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanan
kerja.
6.
Pertemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok
bagi perawat dan menejer, diskusi evaluasi sebaiknya dilakukan dalam waktu yang
cocok untuk keduanya.
Baik laporan evaluasi maupan
pertemuan sebaiknya disusun dengan terencana sehingga perawat tidak merasa
bahwa pelaksanan kerjanya sedang dianalisa (Simson,1985). Seorang pegawai dapat
bertahan dari kecaman menejer yang menunjukkan pertimbangan atas perasaan serta
menawarkan bantuan untuk meningkatkan pelayanan kerja.
Menurut Notoatmodjo (2003) dalam
buku pengembangan sumber daya manusia, prinsip penilaian kerja antara lain:
1.
Penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (job realated), artinya sistem penilaian
harus benar-benar menilai prilaku atau kinerja.
2.
Adanya standar pelaksanaan kerja (performance standart): Standar pelaksanaan adalah ukuran yang
dipakai untuk menilai prestasi kerja.
3.
Praktis. Sistim penilaian yang praktis mudah dipahami dan
mudah dimengerti dan mudah digunakan baik oleh penilai maupun karyawan.
D.
Alat Ukur dalam Penilaian Kinerja
Menurut (Nursalam, 2002)
berbagai macam alat ukur telah dalam penelitian pelaksanan kerja karyawan
keperawatan. Agar efektif, alat evaluasi sebaiknya dirancang untuk mengurangi
bias, meningkatkan objektifitas serta menjamin keabsahan dan ketahanan. Setiap
supervisor menunjukkan beberapa tingkatan bias dalam evaluasi kerja bawahan.
Beberapa supervisior biasanya meremehkan pelaksanan kerja perawat asing.
Beberapa diantaranya menaksir terlalu tinggi pengetauan dan ketrampilan dari
perawat yang menarik, termasuk juga dalam kerapian dan kesopanan.
Objektivitas, yaitu kemampuan untuk
mengalihkan diri sendiri secara emosional dari suatu keadaan untuk
mempertimbangkan fakta tanpa adanya penyimpangan oleh perasaan pribadi.
Keabsahan diartikan sebagai
tingkatan alat mengukur pokok isi serta yang diukur. Alat ukur yang digunakan
dalam menilai pelaksanan kerja dan tugas-tugas yang ada didalam diskripsi kerja
pada perawat perlu dirinci satu demi satu dan dilaksanakan secara akurat.
Jenis alat evaluasi pelaksanan kerja
perawat yang umumnya digunakan ada lima yaitu: laporan bebas, pengukuran yang
sederhana, cheklis pelaksanaan kerja, penilaian grafik, dan perbandingan
pilihan yang dibuat-buat (Hendarson, 1984, dalam Nursalam, 2002).
1.
Laporan
tanggapan bebas
Pemimpin atau atasan diminta memberi
komentar tentang kuwalitas pelaksanan kerja bawahan dalam jangka waktu
tertentu. Karena tidak adanya petunjuk yang harus dievaluasi, sehinga penilain
cenderung menjadi tidak syah. Alat ini kurang obyektif karena mengabaikan
sesuatu yang penting, dimana penilaian hanya berfokus pada salah satu aspek.
2. Cheklis pelaksanaan kerja
Cheklist terdiri dari daftar
kriteria pelasanaan kerja untuk tugas yang paling penting dalam diskripsi kerja
karyawan, dengan lampiran formulir dimana peneliti dapat menyatakan apakah
bawahan dapat bertingah laku seperti yang diiginkan atau tidak.
E. Metode
Penilaian Kinerja
Banyak
metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis besar
dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented
appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu) dan future
oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi ke masa depan) (Werther dan Davis,
1996).
Past based methods adalah penilaian kinerja atas kinerja seseorang dari
pekerjaan yang
telah dilakukannya.
Kelebihannya adalah jelas dan mudah diukur, terutama secara kuantitatif.
Kekurangannya adalah kinerja yang diukur tidak dapat diubah sehingga
kadang-kadang justru salah menunjukkan seberapa besar potensi yang dimiliki
oleh seseorang. Selain itu, metode ini kadang-kadang sangat subjektif dan
banyak biasnya.
Future based methods adalah penilaian kinerja dengan menilai seberapa
besar potensi pegawai dan mampu untuk menetapkan kinerja yang diharapkan pada
masa datang. Metode ini juga kadang-kadang masih menggunakan past
method. Catatan
kinerja juga masih digunakan sebagai acuan untuk menetapkan kinerja yang
diharapkan. Kekurangan dari metode ini adalah keakuratannya, karena tidak ada
yang bisa memastikan 100% bagaimana kinerja seseorang pada masa datang.
Pengklasifikasian
pendekatan penilaian kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan klasifikasi
yang dilakukan oleh Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan aspek yang diukur,
Kreitner dan Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yaitu:
pendekatan trait, pendekatan perilaku dan pendekatan hasil.
Pendekatan
trait adalah pendekatan penilaian kinerja yang lebih fokus pada orang.
Pendekatan ini melakukan perankingan terhadap trait atau karakteristik individu seperti inisiatif,
loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan. Pendekatan trait memiliki kelemahan karena ketidakjelasan kinerja
secara nyata. Pendekatan perilaku, pendekatan ini lebih fokus pada proses dengan
melakukan penilaian kinerja berdasarkan perilaku yang tampak dan mendukung
kinerja seseorang. Sedangkan pendekatan hasil adalah pendekatan yang lebih
fokus pada capaian atau produk. Metode penilaian kinerja yang menggunakan
pendekatan hasil seperti metode management by
objective (MBO) (Kreitner
dan Kinicki, 2000).
Metode-metode
penilaian kinerja yang sesuai dengan pengkategorian dua tokoh di atas yang
paling banyak digunakan menurut Mondy dan Noe (1993) adalah:
1.
Written essays, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi
mengenai kekuatan pekerja, kelemahannya, kinerjanya pada masa lalu, potensinya
dan memberikan saran-saran untuk pengembangan pekerja tersebut.
2.
Critical incidents, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator mencatat mengenai apa
saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely
good or bad behaviour) pegawai.
3.
Graphic rating scales, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menilai kinerja pegawai
dengan menggunakan skala dalam mengukur faktor-faktor kinerja (performance
factor). Misalnya
adalah dalam mengukur tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang
digunakan adalah 1 sampai 5, yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang terbaik.
Jika tingkat inisiatif dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja,
misalnya, maka ia diberi nilai 3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai
faktor-faktor kinerja lainnya. Metode ini merupakan metode umum yang paling
banyak digunakan oleh organisasi.
4.
Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS), merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator
menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan
dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya adalah penilaian pelayanan pelanggan.
Bila pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari pelanggan, ia
diberi skala 4 yang berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu membantu
pelanggan yang kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7 yang berarti
kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan perilaku yang
diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan. Pada contoh di atas,
nilai 4 dideskripsikan dengan tidak menerima suap dari pelanggan. Nilai 7
dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang membutuhkan bantuan. Dengan
mendeskripsikannya, metode ini mengurangi bias yang terjadi dalam penilaian.
5.
Multiperson comparison, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu seorang pegawai dibandingkan
dengan rekan kerjanya. Biasanya dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna
untuk menentukan kenaikan gaji (merit system), promosi, dan penghargaan perusahaan.
6.
Management by objectives. Metode ini juga merupakan penilaian kinerja, yaitu pegawai dinilai
berdasarkan pencapaiannya atas tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan
sebelumnya. Tujuan-tujuan ini tidak ditentukan oleh manajer saja, melainkan
ditentukan dan disepakati bersama oleh para pegawai dan manajer.
Setiap
metode di atas memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, sehingga
tidak baik bagi organisasi untuk menggantungkan penilaian kinerjanya hanya pada
satu jenis metode saja. Sebaiknya, organisasi menggabungkan beberapa metode
yang sesuai dengan lingkup organisasinya, Mondy
dan Noe (1993).
F. Permasalahan Penilaian
Kinerja
Penilaian kinerja harus bebas dari diskriminasi.
Apapun bentuk atau metode penilaian yang dilakukan oleh pihak manajemen harus
adil, realistis, valid, dan relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai
karena penilaian kinerja ini tidak hanya berkaitan dengan masalah prestasi
semata, namun juga menyangkut masalah gaji, hubungan kerja, promosi/demosi, dan
penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang sering muncul menurut Werther dan
Davis (1996) adalah:
1.
Hallo effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat pegawai yang
dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai cenderung akan
memperoleh nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu pula
sebaliknya, seorang pegawai yang tidak disukai akan mendapatkan nilai negatif pada
semua aspek penilaian.
2.
Liniency and severity effect.
Liniency effect ialah penilai
cenderung beranggapan bahwa mereka harus berlaku baik terhadap pegawai,
sehingga mereka cenderung memberi nilai yang baik terhadap semua aspek
penilaian. Sedangkan severity effect ialah penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang sebaliknya
terhadap pegawai sehingga cenderung akan memberikan nilai yang buruk.
3. Central
tendency, yaitu penilai
tidak ingin menilai terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah kepada
bawahannya (selalu berada di tengah-tengah). Toleransi penilai yang terlalu
berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung memberikan penilaian dengan
nilai yang rata-rata.
4. Assimilation
and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau
sifat seperti mereka, sehingga akan memberikan nilai yang lebih baik
dibandingkan dengan pegawai yang tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-ciri
dengannya. Sedangkan differential effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat atau
ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka
inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang
lainnya.
5.
First impression error, yaitu penilai yang mengambil kesimpulan
tentang pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa
kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga jangka waktu yang lama.
6. Recency effect, penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku
yang baru saja mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu
jangka waktu tertentu.
G. Integrasi Peran
Kepemimpinan dan Fungsi Manajemen dalam Penilaian Kinerja
Pengukuran
kinerja sebagai bagian dari pelaksanaan
fungsi-fungsi manajemen, menuntut manajer sebagai pihak yang paling bertanggung
jawab dalam pembinaan bawahannya.
Manajer dengan pengukuran kinerja tersebut harus berusaha menjamin, selain
pekerjaan yang diberikan sesuai dengan karasteristik personal, juga menjamin
pelaksanaan pekerjaan agar sesuai dengan pencapain tujuan organisasi secara
keseluruhan.
DAFTAR PUSTAKA
Mangkunegara (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, PT. Remaja Rasdakarya, Bandung
Nursalam (2003), Proses dan Dokumentasi Keperawatan / Konsep
dan Praktek, Salemba, Jakarta
Swarburg R C (2000). Pengaturan
Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan Untuk Perawat Klinis, Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Swarburg R C (2000). Pengembangan
Staf Keperawatan Serta Pengembangan SDM, Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Gilles D A (1996). Manajemen Keperawatan, Edisi 2, WB
Sounder Company, Philedeplia.
Notoadmojo I (2000). Sumber daya Manusia,PT. Renika
Cipta, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar