Senin, 15 Desember 2014

Asuhan Keperawatan Klien dengan Asma Bronkhial

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ASMA BRONCHIAL
A. Pengertian
            Asma bronchial adalah penyempitan bronkus yang bersifat reversible yang terjadi oleh karena bronkus yang hiperaktif mengalami kontaminasi dengan antigen (Rab,1996).
            Asma bronchial adalah penyakit sistem pernapasan di mana saluran pernapasan di paru-paru menjadi terlalu aktif dan terlalu responsif. Terlalu aktif artinya lebih sensitif dan karena meningkatnya sensitivitas ini paru-paru jadi meradang ketika terkena beberapa zat yang mengganggu seperti udara dingin, asap, serbuk sari bunga dan lain-lain. Meradang artinya berwarna merah dan bengkak. Paru-paru disebut “terlalu responsif” jika paru-paru bereaksi berlebihan terhadap beberapa pemicu iritasi dengan menyempitkan saluran pernapasan dan mengisinya dengan lendir, cairan lengket yang diproduksi oleh dinding bagian dalam pada saluran pernapasan. Ketika saluran mengetat dan dipenuhi dengan lendir, saluran pernapasan menjadi sempit dan mengganggu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru-paru. Ketika hal ini terjadi, orang mengalami kesulitan bernapas (Ramaiah,2006).

B. Jenis-jenis asma bronchial
            Brunner & Suddarth (2002) mengatakan  berdasarkan penyebabnya, asma bronchial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe yaitu :
1.      Asma alergik
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen-alergen yang dikenal, seperti serbuk sari, bulu binatang,amarah,makanan dan jamur. Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis masa lalu ekzema atau rhinitis alergik. Oleh karena itu jika terjadi pemajanan terhadap alergan mencetuskan serangan asma.
2.      Asma idiopatik atau non alergik
Ditandai dengan adanya reaksi non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik. Faktor-faktor, seperti, common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi , seperti aspirin dan agens anti inflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adregenik, dan agens sulfit(pengawet makanan), juga mungkin menjadi factor. Serangan asma idiopatik atau non alergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronchitis kronis dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3.      Asma gabungan
Adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau non alergik.

C. Etiologi
Tanjung (2003) mengatakan ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronchial yaitu :
1.      Faktor predisposisi
a.      Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2.      Faktor presipitasi
a.      Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1)      Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : Debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2)      Ingestan, yang masuk melalui mulut
Contoh : Makanan dan obat-obatan
3)      Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : Perhiasan, logam dan jam tangan
b.      Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c.       Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d.      Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e.       Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

D. Patofisiologi
            Patofisiologi asma melibatkan suatu hiperresponsivitas reaksi peradangan. Pada respons alergi di saluran napas, antibody IgE berikatan dengan alergen dan menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan kontriksi otot polos bronkiolus. Apabila respons histaminnya berlebihan, maka dapat timbul spasme asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukus dan meningkatkan permeabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang interstisium paru (Corwin,2001).
            Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respons IgE yang sensitif berlebihan terhadap suatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Dimanapun letak hipersensitivitas respons peradangan tersebut, hasil akhirnya adalah bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran udara. Apakah kejadian pencetus dari suatu serangan asma adalah infeksi virus, debu atau iritan alergi, reaksi peradangan hipersensitif dapat mencetuskan suatu serangan. Olahraga juga dapat berlaku sebagai suatu iritan karena terjadi aliran udara keluar masuk paru dalam jumlah besar dan cepat. Udara ini belum mendapat pelembaban (humidifikasi), penghangatan atau pembersihan dari partikel-partikel debu secara adekuat sehingga dapat mencetuskan serangan asma (Corwin,2001).

E. Manifestasi /gejala klinik
            Asma adalah menjadi sindrom klinis yang dikarakteristikkan oleh batuk, mengi dan sesak napas serta sesak dada yang ditimbulkan oleh alergen, infeksi atau stimulus lain. Stimulus ini mencakup obat, latihan (khususnya pada iklim kering dan dingin), stress emosi, refluks gastroesofagus pada mikroaspirasi, merokok pasif dan aktif, pemajanan tempat kerja pada bahan kimia dan polusi udara (Tambayong,2000)
            Tanda dan gejala serangan asmatik sangat berhubungan dengan status jalan napas. Yang pasti tentang manifestasi asma adalah jenisnya dan tidak dapat diduga. Gejala asma mengacu pada triad : dispnea, batuk dan ronki kering (mengi). Ronki kering dapat pula terdapat pada keadaan-keadaan lain seperti aspirasi benda asing, tumor, emboli paru, infeksi, gagal jantung kiri (Tambayong,2000)
Manifestasi klinis dan patofisiologi dasar asma (Tambayong, 2000)
Gejala
Dispnea, ortopnea, batuk, mengi, sesak dada, peningkatan nadi paradoksik, penurunan bising napas, hiperesonans, hipoksia

Takikardia, pernapasan sulit, lapar udara, retraksi interkostal


Sputum kental dan lengket, turgor kulit buruk, tanda lain dari dehidrasi


Sputum kental hijau atau kuning

Spasme bronkus, eosinofilia, bila ada alergi

Ketakutan/ panik

Patofisiologi
Spasme bronkiolus, jebakan udara, pendataran diafragmatik



Peningkatan kerja pernapasan, keletihan, peningkatan konsumsi oksigen

Peningkatan produksi sputum, dehidrasi, demam yang dihubungkan dengan infeksi

Infeksi

Inflamasi


Ansietas



F. Pemeriksaan Diagnostik
            Rab (1996) mengatakan pemeriksaan diagnostik pada penderita asma bronchial adalah :
1.      Pemeriksaan Laboratorium
a.       Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
1)      Kristal-kristal Charcot Leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil.
2)      Terdapatnya spiral Curschmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
3)      Terdapatnya creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
4)      Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mukus plug.
b.      Pemeriksaan darah
1)      Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
2)      Kadang pada darah terdapat peningkatan dari  serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT)  dan Lactate dehydrogenase (LDH).
3)      Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
4)      Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
1)      Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
2)      Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
3)      Bila terdapat komplikasi pneumonia, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
4)      Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
5)      Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
b.      Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Pemeriksaan menggunakan tes tempel.


c.       Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
1)      Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clockwise rotation.
2)      Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBBB (Right bundle branch block).
3)      Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus takikardia, atau terjadinya depresi segmen ST relatif.
d.      Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1) atau kapasitas residu fungsional (FVC) sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.


G. Penatalaksanaan Medis
Prinsip umum pengobatan asma bronchial menurut Tanjung (2003) :
1.      Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera.
2.      Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma
3.      Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnya.

Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1.      Pengobatan non farmakologik:
1.      Memberikan penyuluhan
2.      Menghindari faktor pencetus
3.      Pemberian cairan
4.      Fisioterapi
5.      Beri O2 bila perlu.
2.      Pengobatan farmakologik :
a.       Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas.Terbagi dalam 2 golongan :
1)      Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat :
a)      Orsiprenalin (Alupent)
b)     Fenoterol (berotec)
c)      Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.

2)      Santin (teofilin)
Nama obat :
a)      Aminofilin (Amicam supp)
b)     Aminofilin (Euphilin Retard)
c)      Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
3)      Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anakanak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
4)      Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika secara oral.

H. Proses Keperawatan pada Klien Asma Bronchial
            Doenges (2000) mengatakan bahwa proses keperawatan pada klien asma bronchial adalah :
1.      Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
a.      Riwayat kesehatan yang lalu:
1)      Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
2)      Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
3)      Kaji riwayat pekerjaan pasien.
b.      Aktivitas
1)      Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
2)      Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
3)      Tidur dalam posisi duduk tinggi.
c.       Pernapasan
1)      Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
2)      Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
3)      Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
4)      Adanya bunyi napas mengi.
5)      Adanya batuk berulang.
d.      Sirkulasi
1)      Adanya peningkatan tekanan darah.
2)      Adanya peningkatan frekuensi jantung.
3)      Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
4)      Kemerahan atau berkeringat.
e.       Integritas ego
1)      Ansietas
2)      Ketakutan
3)      Peka rangsangan
4)      Gelisah

f.        Asupan nutrisi
1)      Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
2)      Penurunan berat badan karena anoreksia.
g.      Hubungan sosal
1)      Keterbatasan mobilitas fisik.
2)      Susah bicara atau bicara terbata-bata.
3)      Adanya ketergantungan pada orang lain.
h.      Seksualitas
a.       Penurunan libido

2.      Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan     bronkospasme.
Hasil yang diharapkan:
a.       Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan jelas.
b.      Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas misal batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi


2.  Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi /ekspirasi.



3.  Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.

4.  Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien,contoh:meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur
5.  Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dan lain-lain.
6.  Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat.


Kolaborasi
7.  Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.



1.  Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.
2.  Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3.  Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
4.  Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.

5.  Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.

6.  Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.

7.  Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi

Diagnosa 2: Malnutrisi berhubungan dengan anoreksia
Hasil yang diharapkan :
a.       Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
b.      Menunjukkan perilaku/perubahan pola hidup untuk meningkatkan atau mempertahankan berat yang tepat.
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.
2.  Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.


Kolaborasi
3.  Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi


1.  Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.

2.  Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan mual / muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.

3.  Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan masukan.

Diagnosa 3 : Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (spasme bronkus)
Hasil yang diharapkan :
a.       Perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.
b.      Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan/situasi

INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.


2.  Palpasi fremitus

3.  Awasi tanda vital dan irama jantung


Kolaborasi
4.  Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil Analisis Gas Darah Arteri (AGDA)  dan toleransi pasien



1.  Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
2.  Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumpalan cairan/udara.
3.  Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

4.  Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia


Diagnosa 4: Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuat imunitas.
Hasil yang diharapkan :
a.       Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi.
b.      Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman.
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Awasi suhu.

2.  Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat

Kolaborasi
3.  Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan gram,kultur/sensitifitas.


1.  Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi.
2.  Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi

3.  Untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap berbagai anti microbial

Diagnosa 5: Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi/ tidak mengenal sumber informasi


Hasil yang diharapkan :
a.       Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan.
b.      Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
INTERVENSI
RASIONAL
1.  Jelaskan tentang penyakit individu


2.  Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
3.  Tunjukkan tehnik penggunaan inhaler
1.  Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan.
2.  Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan merugikan.
3.  Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifannya.



2.2. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PNEUMONIA
A. Pengertian Pneumonia
            Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru, biasanya berhubungan dengan pengisian alveoli dengan cairan. Penyebabnya termasuk berbagai agen infeksi, iritan kimia dan terapi radiasi (Doenges,2000).
            Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda asing. Pneumonia dikelompokkan berdasarkan agen penyebabnya. Pneumonia juga mungkin disebabkan oleh terapi radiasi, bahan kimia dan aspirasi. Pneumonia radiasi dapat menyertai terapi radiasi untuk kanker payudara atau paru, biasanya terjadi 6 minggu atau lebih setelah pengobatan selesai. Pneumonia kimiawi adalah pneumonia yang terjadi setelah menghirup kerosin atau inhalasi gas yang mengiritasi (Muttaqin, 2009).
            Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Kantung-kantung kemampuan menyerap oksigen menjadi kurang. Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh tidak bisa bekerja. Gara-gara inilah, selain penyebaran infeksi ke seluruh tubuh, penderita pneumonia bis meninggal. Sebenarnya pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada banyak sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel (Misnadiarly,2008)

B. Klasifikasi Pneumonia
Reeves (2001) mengatakan terdapat beberapa klasifikasi pneumonia yaitu :
1.      Community-acquired pneumonia
Dimulai dengan penyakit pernapasan umum dan bisa berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia streptococcal merupakan organisme penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.

2.      Hospital-acquired pneumonia
Dikenal sebagai pneumonia nasokomial. Organisme seperti aeruginosa pseudomonas, klepsiellaa, atau aureus staphylococcus merupakan bakteri umum penyebab hospital/ acquired pneumonia.
3.      Lobar dan bronchopneumonia
Dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Sekarang ini, pneumonia diklasifikasikan menurut organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.
4.      Pneumonia viral, bacterial dan fungal
Dikategorikan berdasarkan pada agen penyebabnya. Kultur sputum dan sensitifitas dilakukan untuk mengidentifikasi organisme perusak.

C. Etiologi
Etiologi pneumonia Menurut Reeves (2001) :
1.      Pneumonia bacterial
Pneumonia dipicu oleh bakteri , diantara semua jenis pneumonia, kejadian pneumonia bakteri hanya kurang dari setengahnya dan biasanya diderita di kalangan orang tua. Organisme gram/positif yang menyebabkan pneumonia bakteri adalah streptococcus pneumonia, streptococcus aureus, dan streptococcus pyogenes,. Insiden penyakit pneumonia ini paling tinggi terjadi di musim dingin, dan biasanya merupakan lanjutan dari infeksi saluran pernapasan atas. Penyakit pneumonia bakteri ini mempunyai prevalensi dan angka kematian di rumah sakit mencapai kira-kira 15-20%. Pada pasien dengan usia di atas 70 tahun, angka kematiannya mencapai 50-70%.
2.      Pneumonia Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia paling umum ini disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus. Bagi pasien penderita gangguan sistem imun, maka penyakit ini menyebabkan rata-rata kematian yang tinggi.
3.      Pneumonia Fungal
Infeksi yang disebabkan jamur seperti Histoplasmosis, menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora, dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos. Untuk kalangan wanita hamil, histoplasma harus dicegah karena jamur bias merusak fetus yang sedang tumbuh berkembang. Coccidiomikosis umumnya lebih dikenal dengan demam lembah, juga menyebar melalui spora yang dihirup yang berasal dari tanah yang terkontaminasi.
4.      Pneumocystis carinii pneumonia (PCP)
Organisme penyebabnya yang telah diidentifikasi, yakni protozoa dan jamur. Penyakit ini menjangkiti pasien yang menderita gangguan sisten imun seperti pegidap AIDS. PCP merupakan salah satu penyakit infeksi dengan penyebarannya mendunia dan menjadi salah satu yang paling dikhawatirkan di kalangan pasien penderita AIDS. Studi morfologi baru-baru ini mengenai organisme di atars menunjukkan bahwa penyakit ini lebih disebabkan oleh jamur.

D. Patofisiologi       
Patofisiologi pneumonia menurut Brashers (2003) :
1.      Aspirasi mikroorganisme yang mengkolonisasi sekresi orofaring merupakan rute infeksi yang paling sering. Rute inokulasi lain meliputi inhalasi, penyebaran infeksi melalui darah (hematogen) dari area infeksi yang jauh, dan penyebaran langsung dari tempat penularan infeksi.
2.      Jalan napas atas merupakan garis pertahanan pertama infeksi, tetapi pembersihan mikroorganisme oleh air liur, ekspulsi mukosiliar dan sekresi IgA dapat terhambat oleh berbagai penyakit, penurunan imun, merokok dan intubasi endotrakeal.
3.      Pertahanan jalan napas bawah meliputi batuk, reflex muntah, ekspulsi mukosiliar, surfaktan, fagositosis makrofag dan polimorformonukleosit (PMN), dan imunitas selular dan humoral. Pertahanan ini dapat dihambat oleh penurunan kesadaran, merokok, produksi mucus yang abnormal (misal : kistik fibrosis atau bronchitis kronis), penurunan imun, intubasi dan tirah baring berkepanjangan.
4.      Makrofag alveolar merupakan pertahanan primer terhadap invasi saluran pernapasan bawah dan setiap hari membersihkan jalan napas dari mikroorganisme yang teraspirasi tanpa menyebabkan inflamasi yang bermakna.
5.      Bila jumlah atau virulensi mikroorganisme terlalu besar, maka makrofag akan merekrut PMN dan memulai rangkaian inflamasi dengan pelepasan berbagai sitokin termasuk leukotrien, factor nekrosis tumor (TNF), interleukin, radikal oksigen dan protease.
6.      Inflamasi tersebut menyebabkan pengisian alveolus mengalami ketidakcocokan ventilasi/ perfusi dan hipoksemia. Terjadi apoptosis sel-sel paru yang meluas, ini membantu membasmi mikroorganisme intrasel seperti tuberculosis atau klamidia, tetapi juga turut andil dalam proses patologis kerusakan paru.
7.      Infeksi dan inflamasi dapat tetap terlokalisir di paru atau dapat menyebabkan bakterimia yang mengakibatkan meningitis atau endokarditis, sindrom respons inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome, SIRS) dan/atau sepsis.
8.      Faktor virulensi dari berbagai mikroorganisme dapat mempengaruhi patofisiologi dan perjalanan klinis penyakit. Streptococcus pneumonia (pneumococcus) merupakan contoh yang sangat tepat (Gambar 1).







Mikroorganisme terhirup atau tersebar melalui darah dari sumber yang lain
¯
Polisakarida kapsular melindungi mikroorganisme dari PMN dan menghilangkan inflamasi samapai sistem imun teraktivasi
¯
Antibodi memajankan dinding sel yang ada di bawahnya; leukosit direkrut ke paru
¯
Sitokin diproduksi, permeabilitas epitel alveolus meningkat dan teichoic acid dari mikroorganisme memulai rangkaian pro-koagulan
¯
Saat mikroorganisme dihancurkan, komponen dinding sel akan dilepaskan, dan lepaslah pneumolysin yang bersifat sitotoksik bagi sel paru
¯
Perubahan patologi paru yang besar meliputi pembendungan (eksudasi cairan ke dalam alveolus), hepatisasi merah (kebocoran eritrosit ke dalam alveolus) dan hepatisasi abu (migrasi leukosit ke dalam alveolus)
¯
Respons inflamasi intensif menyebabkan  “krisis” klinis dan pada akhirnya menurunkan demam
Fibrinasi dengan resolusi
¯

Gambar 1 : patofisiologi pneumonia pneumokokus         
E. Manifestasi Klinis
            Menurut Corwin (2001), gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia, tetapi terutama mencolok pada pneumonia yang disebabkan oleh bakteri. Gejala-gejala mencakup :
1.      Demam dan menggigil akibat proses peradangan.
2.      Batuk yang sering produktif  dan purulen.
3.      Sputum berwarna merah karat (untuk Streptococcus pneumoniae), merah muda (untuk Staphylococcus aureus) atau kehijauan dengan bau khas (untuk Pseudomonas aeruginosa).
4.      Krekel (bunyi paru tambahan)
5.      Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
6.      Nyeri pleura akibat peradangan dan edema.
7.      Biasanya sering terjadi respons subyektif dispnu. Dispnu adalah perasaan sesak atau kesulitan bernapas, yang dapat disebabkan oleh penurunan pertukaran gas.
8.      Mungkin timbul tanda-tanda sianosis.
9.      Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mukus, yang dapat menyebabkan atelektasis absorpsi.
10.  Hemoptisis, batuk darah dapat terjadi akibat cedera toksin langsung pada kapiler, atau akibat reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan kapiler.
            Mubin (2006) mengatakan tanda-tanda penting pneumonia meliputi takikardia, pernapasan cepat/analasi, herpes labialis, bunyi krepitasi, bunyi gesekan pleura, bunyi pernapasan bronchial dan whispering pectoriloquy, vocal fremitus mengeras pada sisi sakit dan pekak relative pada sisi sakit.

F. Pemeriksaan Diagnostik
1.      Sinar-X :
Mengidentifikasi distribusi struktural (misal : lobar,bronchial) ; dapat juga menyatakan abses luas/infiltrat,empiema (stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial) ;atau penyebaran/perluasan infiltrat nodul (lebih sering virus). Pada pneumonia mikoplasma,sinar x dada mungkin bersih.
2.      Gas Darah Analisis (GDA) / nadi oksimetri
Tidak normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
3.      Pemeriksaan gram / kultur sputum dan darah
Darah diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi fiberoptik atau biopsi permukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Lebih dari 1 tipe organism ada; bakteri yang umum meliputi Diplococcus pneumonia, Stapilococcus aureus, A-hemolitik streptococcus, Haemophilus influenza; CMV (Cytomegalo virus).
Catatan : kultur sputum dapat tak mengidentifikasi semua organisme yang ada. Kultur darah dapat menunjukkan bakteremia sementara.
4.      Pemeriksaan serologi
Misal titer virus atau Legionella, agglutinin dingin : membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.
5.      LED (Laju Endap Darah) : meningkat
6.      Pemeriksaan fungsi paru
Volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar); tekanan jalan napas mungkin meningkat dan komplain menurun. Mungkin terjadi perembesan (hipoksemia).
7.      Elektrolit
Natrium dan klorida mungkin rendah
8.      Bilirubin
Mungkin meningkat
9.      Aspirasi
Perkutan/biopsi jaringan paru terbuka; dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV); karakteristik sel raksasa (rubeolla).

G.Penatalaksanaan Medis
            Menurut Asta Qauliyah (2010), dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat dirawat dirumah.
Penderita yang tidak dirawat di RS :
1.      Istirahat ditempat tidur, bila panas tinggi di kompres
2.      Minum banyak
3.      Obat-obat penurunan panas, mukolitik, ekspektoran
4.      Antibiotika
Penderita yang dirawat di Rumah Sakit : penanganannya di bagi 2 yaitu :
1.      Penatalaksanaan Umum
a.    Pemberian Oksigen
b.   Pemasangan infuse untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
c.    Mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan nafas
d.   Obat penurunan panas hanya diberikan bila suhu > 4000C, takikardia atau kelainan jantung.
e.    Bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri.
2.      Pengobatan Kausal
            Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan Mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan :
a.    Penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa dipertimbangkan pemberian antibiotika walaupun kuman belum dapat diisolasi.
b.   Kuman patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab sakit, oleh karena itu diputuskan pemberian antibiotika secara empirik. Pewarnaan gram sebaiknya dilakukan.
c.    Perlu diketahui riwayat antibiotika sebelumnya pada penderita.
           
                        Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, karena beberapa alasan yaitu :
1.      Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2.      Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3.      Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
            Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan antibiotik berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
1.      Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
a.       Golongan Penisilin
b.      TMP-SMZ
c.       Makrolid
2.      Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
a.       Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
b.      Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi
c.       Marolid baru dosis tinggi
d.      Fluorokuinolon respirasi
3.      Pseudomonas aeruginosa
a.       Aminoglikosid
b.      Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
c.       Tikarsilin, Piperasilin
d.      Karbapenem : Meropenem, Imipenem
e.       Siprofloksasin, Levofloksasin

4.      Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
a.       Vankomisin
b.      Teikoplanin
c.       Linezolid
5.      Hemophilus influenzae
a.       TMP-SMZ
b.      Azitromisin
c.       Sefalosporin gen. 2 atau 3
d.      Fluorokuinolon respirasi
6.      Legionella
a.       Makrolid
b.      Fluorokuinolon
c.       Rifampisin
7.      Mycoplasma pneumoniae
a.       Doksisiklin
b.      Makrolid
c.       Fluorokuinolon
8.      Chlamydia pneumoniae
a.       Doksisikin
b.      Makrolid
c.       Fluorokuinolon


H. Proses Keperawatan pada Klien Pneumonia
Doenges (2000) mengatakan bahwa proses keperawatan pada klien pneumonia adalah :
1.      Pengkajian
a.      Aktivitas/ Istirahat
1)      Kelemahan, kelelahan
2)      Insomnia
b.      Sirkulasi
1)      Riwayat adanya gagal jantung kronis
2)      Takikardia
c.       Integritas Ego
1)      Banyaknya stressor
2)      Masalah finansial
d.      Makanan/ cairan
1)      Kehilangan nafsu makan
2)      Mual/ muntah
3)      Riwayat diabetes melitus
e.       Neurosensori
1)      Sakit kepala daerah frontal (influenza)
f.       Kenyamanan
1)      Sakit kepala
2)      Nyeri dada (pleuritik), meningkat oleh batuk : nyeri dada substernal (influenza)
3)      Mialgia, artralgia
g.      Pernapasan
1)      Riwayat adanya infeksi saluran kemih (ISK) kronis, penyakit paru obstruktif  menahun (PPOM) dan merokok.
2)      Takipnea, dipsnea progresif, pernapasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal.
h.      Keamanan
1)      Riwayat gangguan sistem imun, misal AIDS.
2)      Penggunaan steroid atau kemoterapi
3)      Institusionalisasi, ketidakmampuan umum
4)      Demam (misal : 38,5-39,60C)
i.        Penyuluhan
1)      Riwayat mengalami pembedahan
2)      Penggunaan alkohol kronis

2.      Diagnosa dan intervensi keperawatan
Diagnosa 1 : Tidak efektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi sputum.
Hasil yang diharapkan :
a.       Mengidentifikasi / menunjukkan perilaku mencapai bersihan jalan napas.
b.      Menunjukkan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih, tidak ada dispnea, sianosis.

INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Kaji frekuensi / kedalaman pernapasan dan gerakan dada.



2.  Auskultasi area paru, catat area penurunan/tak ada aliran udara dan bunyi napas adventisius.
3.  Bantu pasien latihan napas sering.

4.  Penghisapan sesuai indikasi.





5.  Berikan cairan sedikitnya 2500/ hari (kecuali kontraindikasi).

Kolaborasi
6.  Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi.
7.  Berikan obat sesuai indikasi.

8.  Berikan cairan tambahan misal IV,oksigen humidifikasi dan ruangan humidifikasi.

9.  Awasi seri sinar-X dada, gas darah analisis (GDA) dan nadi oksimetri.


1.  Takipnea,pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada atau cairan paru.
2.  Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.

3.  Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan napas lebih kecil
4.  Merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak efektif atau penurunan tingkat kesadaran.
5.  Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.

6.  Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret.

7.  Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi secret.
8.  Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan (termasuk yang tak tampak) dan memobilisasikan sekret.
9.  Mengevaluasi kemajuan dan efek proses penyakit dan memudahkan pilihan terapi yang diperlukan.

Diagnosa 2 : Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-kapiler (efek inflamasi)
Hasil yang diharapkan :
a.       Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan gas darah analisis (GDA) dalam rentang normal dan tak ada gejala distress pernapasan.
b.      Berpartisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi.
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.     Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernapas.


2.     Observasi warna kulit, membrane mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis sentral (sirkumoral).
3.     Kaji status mental.



4.     Awasi frekuensi jantung/ irama.


5.     Awasi suhu tubuh sesuai indikasi.




6.     Pertahankan istirahat tidur.

7.     Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, napas dalam dan batuk efektif.

8.     Kaji tingkat ansietas.


9.     Observasi penyimpangan kondisi, catat hipotensi, banyaknya jumlah sputum merah muda/ berdarah, pucat, sianosis, perubahan tingkat kesadaran, dispnea berat, kegelisahan.
10. Siapkan untuk pemindahan ke unit perawatan kritis bila diindikasikan.
Kolaborasi
11. Berikan terapi oksigen dengan benar.

12. Awasi gas darah analisis (GDA), nadi oksimetri


1.     Manifestasi distres pernapasan tergantung pada indikasi derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum.
2.     Sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi atau respons tubuj terhadap demam/ menggigil.


3.     Gelisah, mudah terangsang, bingung dan somnolen dapat menunjukkan hipoksemia/   penurunan oksigen serebral.
4.     Takikardia biasanya ada sebagai akibat demam / dehidrasi tetapi dapat sebagai respons terhadap hipoksemia.
5.     Demam tinggi (umumnya pada pneumonia bacterial dan influenza) sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi seluler.
6.     Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan oksigen.
7.     Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki ventilasi.
8.     Ansietas adalah manifestasi masalah psikologi sesuai dengan respon fisiologi terhadap hipoksia.
9.     Syok dan edema paru adalah penyebab umum kematian pada pneumonia dan membutuhkan intervensi medik segera.



10. Intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan pada kejadian kegagalan pernapasan.

11. Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankanPaO2 di atas 60 mm Hg.
12. Mengevaluasi proses penyakit dan memudahkan terapi paru.

Diagnosa 3 : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan utama(penurunan kerja silia, perlengketan sekret pernapasan)
Hasil yang diharapkan :
a.       Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
b.      Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Pantau tanda vital dengan adekuat, khususnya selama awal terapi
2.  Anjurkan pasien memperhatikan pengeluaran sekret, melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret.


3.  Tunjukkan/dorong teknik mencuci tangan yang baik
4.  Ubah posisi baru dengan sering dan berikan pembuangan paru yang baik
5.  Batasi pengunjung sesuai indikasi

6.  Lakukan isolasi pencegahan sesuai individual
7.  Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang
8.  Awasi  keefektifan terapi antimikrobal

Kolaborasi
9.  Berikan antimikrobal sesuai indikasi dengan hasil kultur sputum/ darah.

1.  Selama periode waktu ini, potensial komplikasi fatal (hipotensi/syok) dapat terjadi
2.  Meskipun pasien dapat menemukan pengeluaran dan upaya membatasi atau menghindarinya, penting bahwa sputum harus dikeluarkan dengan cara aman
3.  Efektif berarti menurunkan penyebaran/tambahan infeksi
4.  Meningkatkan pengeluaran,pembersihan infeksi

5.  Menurunkan pemajanan terhadap patogen infeksi lain
6.  Mencegah penyebaran/ melindungi pasien dari proses infeksi lain
7.  Memudahkan proses penyembuhan dan meningkatkan tahanan alamiah
8.  Tanda perbaikan kondisi haus terjadi dalam 24-48 jam


9.  Membunuh kebanyakan mikrobial pneumonia

Diagnosa 4 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
Hasil yang diharapkan :
a.       Melaporkan/menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan tidak adanya dispnea, kelemahan berlebihan dan tanda vital dalam rentang normal
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas

2.  Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi
3.  Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat
4.  Bantu pasien memilih lokasi nyaman untuk istirahat atau tidur


5.  Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan

1.  Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
2.  Menurunkan stress dan rangsangan berlebihan,meningkatkan istirahat

3.  Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan
4.  Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi atau menunduk kedepan meja atau bantal
5.  Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen


Diagnosa 5 : Nyeri berhubungan denagan inflamasi parenkim paru
Hasil yang diharapkan :
a.       Menyatakan nyeri hilang/terkontrol
b.      Menunjukkan rileks, istirahat/tidur dan peningkatan aktivitas dengan tepat
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Tentukan karakteristik nyeri




2.  Pantau tanda vital




3.  Berikan tindakan nyaman misal pijatan punggung



4.  Tawarkan pembersihan mulut dengan sering



5.  Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk

Kolaborasi
6.  Berikan analgesik dan antitusif sesuai indikasi

1.  Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pada pneumonia, juga dapat timbul komplikasi pneumonia seperti perikarditis dan endokarditis
2.  Perubahan frekuensi jantung atau TD menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan lain untuk perubahan tanda vital telah terlihat
3.  Tindakan non-analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar afek terapi analgesik
4.  Pernapasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa,potensial ketidaknyamanan umum
5.  Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk

6.  Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non-produktif/ paroksismal atau menurunkan mukosa berlebihan, meningkatkan kenyamanan/istirahat umum


Diagnosa 6 : Anoreksia yang berhubungan dengan dengan toksin bakteri, bau dan rasa sputum dan pengobatan aerosol
Hasil yang diharapkan:
a.       Menunjukkan peningkatan napsu makan
b.      Mempertahankan/meningkatkan berat badan
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Identifikasi faktor yang menimbulkan mual / muntah
2.  Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin
3.  Jadwalkan pengobatan pernapasan sedikitnya 1 jam sebelum makan

4.  Auskultasi bunyi usus


5.  Berikan makan porsi kecil dan sering.

6.  Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

1.  Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah
2.  Menghilangkan tanda bahaya,rasa, bau dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual
3.  Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini.
4.  Bunyi usus mungkin menurun/tak ada bila proses infeksi berat/memanjang
5.  Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali
6.  Adanya kondisi kronis (seperti PPOM atau alkoholisme) atau keterbatasan keuangan dapat menimbulkan malnutrisi,rendahnya tahanan terhadap infeksi,dan atau lambatnya respons terhadap terapi.


Diagnosa 7 : Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan
Hasil yang diharapkan :
a.       Menunjukkan keseimbangan cairan dibuktikan dengan parameter individual yang tepat
Misal: membran mukosa lembab,turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, tanda vital stabil
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Kaji perubahan tanda vital.
Contoh: peningkatan suhu/demam memanjang,takikardia,hipotensi ortostatik.
2.  Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa(bibir,lidah)



3.  Catat laporan mual/muntah

4.  Pantau masukan dan haluaran,catat warna,karakter urin.

5.  Tekankan cairan sedikitnya 2500ml/hari atau sesuai kondisi individual.

Kolaborasi
6.  Beri obat sesuai indikasi

7.  Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan

1.  Peningkatan suhu/memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi
2.  Indikator langsung keadekuatan volume cairan meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut  dan oksigen tambahan
3.  Adanya gejala ini menurunkan masukan oral
4.  Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian
5.  Pemenuhan kebutuhan dasar cairan, menurunkan resiko dehidrasi


6.  Berguna menurunkan kehilangan cairan
7.  Pada adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki/ mencegah kekurangan.


Diagnosa 8 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kesalahan interpretasi
Hasil yang diharapkan :
a.       Menyatakan pemahaman kondisi, proses penyakit dan pengobatan
b.      Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan
INTERVENSI
RASIONAL
Mandiri
1.  Kaji fungsi normal paru,patologi kondisi


2.  Diskusikan aspek ketidak mampuan dari penyakit,  lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan,
3.  Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal


4.  Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif / latihan pernapasan

5.  Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan




6.  Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan
7.  Tekankan pentingnyamelanjutkan evaluasi medik dan vaksin/ imunisasi dengan tepat
8.  Identifikasi tanda/gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan.
Misal kehilangan berat badan


1.  Meningkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting menghubungkannya dengan program pengobatan
2.  Informasi dapat meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah berlebihan
3.  Kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengasimilasi informasi/mengikut program medik
4.  Selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien beresiko besar untuk kambuh dari pneumonia
5.  Penghentian dini antibiotik dapat mengakibatkan iritasi mukosa bronkus dan menghambat makrofag alveolar, mempengaruhi pertahanan alami tubuh melawan infeksi

6.  Meningkatkan pertahanan alamiah/ imunitas,membatasi terpajan pada patogen
7.  Dapat mencegah kambuhnya pneumonia dan komplikasi yang berhubungan
8.  Upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah/ meminimalkan komplikasi.











DAFTAR PUSTAKA

Brashers, V.L. (2003). Aplikasi Klinis Patofisiologi, Pemeriksaan & Manajemen.    Jakarta : EGC.

Brunner & Suddarth . (2002).  Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Vol 1.       Jakarta : EGC.

Corwin, E.J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. & Geissler, A.C. (2000). Rencana Asuhan          Keperawatan. Jakarta : EGC.

Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak,          Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta : Pustaka Obor Populer.

Mubin, A.H. (2006). Panduan Praktis Ilmu Penyalit Dalam : Diagnosis dan Terapi. Jakarta : EGC.

Muttaqin,A. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem             Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

Rab,T. (1996). Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates.

Ramaiah, S. (2006). Asma, Mengetahui Penyebab, Gejala, dan Cara Penanganan.             Jakarta : Gramedia.

Reeves, C.J. (2001). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika.

Tambayong, J. (2000). Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) . Pneumonia Komuniti, Pedoman        Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Diakses 5 November 2010            dari http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-pneumoniakom/pnkomuniti.pdf

Qauliyah,A. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Pneumonia.             Diakses 6 November 2010 dari http://astaqauliyah.com/2010/07/referat-kedokteran-diagnosis-dan-penatalaksanaan-penyakit-pneumonia/

Tanjung,D. (2003). Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Diakses 26 September    2010 dari http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar